Jember, Motim
Diduga enam orang warga Jember jadi korban perdagangan manusia di Kamboja. Keenam orang yang disinyalir berasal dari Kecamatan Silo, Jember itu kini tidak bisa pulang.
Berharap pemerintah Indonesia dapat memulangkan keenam orang warga Jember itu.
Terungkapnya informasi ini, saat salah seorang orang tua korban Mistarum (57) warga Dusun Baban Timur, Desa Mulyorejo, Kecamatan Silo, datang ke Kantor Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Jember di Jalan Dewi Sartika, Kecamatan Kaliwates, Jember, Selasa (6/6/2023) sore.
Mistarum berharap, dengan melapor ke Disnaker Jember dapat membantu proses pemulangan anaknya yang saat ini berada di Kamboja
“Saya ingin konfirmasi ke Disnaker Jember, soal keberangkatan (kondisi) anak saya. Karena dia berangkat tanpa sepengetahuan saya. Oleh karena itu, setelah saya telusuri ternyata keberangkatannnya ilegal. Saat ini, anak saya sekarang kabarnya terlantar di Kamboja sana,” ujar Mistarum saat dikonfirmasi sejumlah wartawan.
bernama Achmad Kalim Siddiqi (23), kata Mistarum, berangkat ke Kamboji karena iming-iming dari temannya. Namun keberangkatan yang tidak diketahui olehnya itu, menyebabkan sang anak kini pun terlantar dan diduga menjadi korban perdagangan manusia.
“Anak saya namanya Ahmad Kalim. Berangkat ke Kamboja sekitar bulan puasa kemarin tanggalnya gak ingat. Kira-kira bulan ketiga puasa itu. Saya tahu posisi anak saya di Kamboja itu, awalnya lewat tetangga yang memberi tahu jika anak saya di sana. Saya pun pasrah dan tidak bisa apa-apa (saat itu),” ujarnya.
“Tapi Alhamdulillah saya bisa berkomunikasi dengan anak saya (lewat ponsel). Tapi HPnya ini kadang dipegang temannya. Jadi komunikasi saya sering terputus-putus. Tapi sampai saat ini, komunikasi ini masih bisa,” ungkapnya.
Dari komunikasi yang dilakukan dengan anaknya, lanjut Mistarum, anaknya dalam kondisi baik, namun tertekan. Terlebih lagi, saat berada di Kamboja. Tidak sesuai dengan yang diharapkan.
“Informasi yang disampaikan, kondisi saat ini pertama tidak kerasan karena gak sesuai harapan. Kala itu saat berangkat, dijanjikan gaji kisaran Rp 8 – 10 juta. Disampaikan juga tiap bulannya naik. Tapi ternyata setelah bekerja sekitar 2 bulanan, hal itu tidak jadi kenyataan. Ternyata bayarannya (gaji) kisaran Rp 3 juta saja,” bebernya.
“Bahkan yang saya kaget, anak saya itu ternyata dipekerjakan sebagai skimmer atau admin judi online,” sambungnya.
Dari komunikasi yang masih terjalin lewat ponsel itu, kata Mistarum, terungkap juga bahwa anaknya tidak sendiri.
“Dari informasi yang saya terima, dari kejadian ini. Ada 6 orang warga Kecamatan Silo yang berangkat ke Kamboja itu, termasuk anak saya. Tapi yang masih berkomunikasi dengan saya (di Indonesia) hanya dua orang, yakni anak saya itu dan pasangan suami istri. Yakni Achmad Zaini (44), dan Istri Iid Astutik Puji Rahayu (23),” ujarnya.
“Untuk pasangan suami istri itu dari desa Harjimulyo, tapi semua masih satu kecamatan,” sambungnya.
Dengan bekerja menjadi admin judi online, lanjutnya, si anak sudah mengundurkan diri, tapi saat ini merasa tertekan dan tidak bisa pulang.
“Apalagi saat tahu dipekerjakan menjadi admin judi online. Anak saya mengungkapkan kekhawatiran nantinya juga akan ditangkap polisi di sana. Kata anak saya penegakan hukum di sana lebih ketat. Untuk wilayahnya itu, hasil dari sharelock (membagikan lokasi). Anak saya di wilayah Samrong, Kamboja,” ulasnya.
Untuk kondisi saat ini, lebih lanjut kata Mistarum, jika mau pulang. Maka harus mengeluarkan biaya.
“Kemarin itu bahkan diancam jika mau pulang, tiga orang yakni anak saya dan pasangan suami istri itu. Harus membayar uang Rp 115 juta untuk bisa pulang ke Indonesia. Di sana nego, jadi Rp 90 juta, kemudian terakhir jadi Rp 60 juta untuk pulang,” ujarnya.
“Untuk 3 orang lainnya, saya tidak tahu. Karena lain lokasi. Bahkan saya tidak bisa komunikasi dengan 3 orang lainnya itu. Tapi saya yakin mereka warga Kecamatan Silo juga,” sambungnya.