Situbondo, Motim-Menjelang akhir tahun 2021, DPRD Kabupaten Situbondo mengesahkan enam Rancangan Peraturan Daerah ( Raperda ) inisiatif DPRD Situbondo menjadi Perda, Senin (27/12/2021).
Pengesehan enam Raperda yang telah dibahas Badan Pembentukan Peraturan Daerah ( Bapemperda) disahkan melalui Rapat Paripurna DPRD Kabupaten Situbondo.
Ketua DPRD Kabupaten Situbondo, Edy Wahyudi mengatakan, agenda paripurna merupakan persetujuan terhadap Rapeda yang diusulkam alat kelengkapan di DPRD.
“Jadi tadi itu persetujuan Raperda inisiatif DPRD, ini baru tahap pertama,” ujar Edy Wahyudi.
Menurut dia, ada lima Raperda yang diusulkan alat kelengkapan dari empat komisi yang mengusulkan dan satu Raperda dari Bapemperda.
Lima Raperda itu, diantaranya perubahan Raperda tentang praktek pelacuran nomor 27 tahun 2004 yang diusulkan oleh komisi I dan Perda tentang pelayanan kesehatan yang diusulkan komisi II serta Perda tentang jasa kontruksi yang diusulkan komisi III dan Perda tentang penanggulangan penyakit HIV Aids dan TBC yang diusulkan komisi IV DPRD Situbondo.
“Perda terakhir tentang perubahan Peraturan Daerah atas Peraturan Daerah nomor 14 tahun 2014 tentang penyelesaian ganti rugi dan pengadaan tanah untuk kepentingan umum,”i mbuhnya.
Setelah melalui proses yang panjang, lima Raperda yang usulannya disahkan ini, telah dilakukan kajian dan harmonisasi antara Bapemperda dan hari ini dinaikkan menjadi paripurna persetujuan.
“Alhamdulillah seluruh fraksi dan anggota DPRD menyetujui terhadap lima Raperda itu. tapi ada salah yang diubah poin poinnnya saja,” katanya.
Edy menambahkan, semua Raperda inisiatif yang diusulkan semua penting, karena masing masing memiliki materi dan pokok pokok pikiran penting.
“Misalnya saja tentang praktek pelacuran, kita menginginkan Perda pelacuran sebagai payung hukum di pemerintah daerah penanganannya lebih korehensif,” harapnya.
Lebih jauh Edy menegaskan, persoalan ini bukan hanya praktek prostitusinya, akan tetapi bagaimana memikirkan tentang rehabilitasi dan pemberdayaan terhadap orang yang terlibat praktek pelacuran.
“Jadi tidak terjadi orang pernah tertangkap dan kemudian terjun kembali kedunia prostitusi, karena dari proses rehab dan pemberdayaanya sudah kita pikirkan,” bebernya.
Terkait Perda nomor 27 tahun 2004, kata Edy, itu hanyamelarang praktik pelacurannya, namun di Perda yang baru akan lebih komprehensif lagi persoalan persoalan pelacuran itu.
“Jangan sampai persoalan pelacuran ini ditindak dan dibiarkan begitu saja dan tidak dilakukan rehabilitasi dan pemberdayaan,” pungkasnya. (fat)