Lumajang, Motim – Desa Argosari Kecamatan Senduro nampaknya bukan hanya tentang Puncak B29. Namun di sana ada kegiatan menarik yang masih banyak orang tidak tahu. Yakni yoga tradisional yang terus dikembangkan oleh para pemuda desa setempat. Sekarang ada seratus lebih warga di sana yang aktif beryoga.
Mungkin banyak yang bertanya-tanya, di desa yang jauh dari keramaian dan masih kental dengan keadatan, kenapa ada kegiatan yoga di sana. Pemuda setempat, Wandi Purwanto adalah salahsatu yang mengembangkan kegiatan yoga di Desa Argosari.
Ia menceritakan, ketika masih duduk di bangku kelas 4 SD di Probolinggo, dirinya sudah belajar yoga di sana atau sekitar tahun 2003 silam. Memang saat itu yoga yang dipelajari Wandi masih sebatas pengenalan atau belum terlalu fokus.
Setelah lulus SD, Wandi melanjutkan SMP di Lumajang. Namun saat itu, di sekolahnya tidak ada pembelajaran yoga. Sehingga Ia tak lagi mempelajari tentang yoga. Baru ketika lulus SMP dan sekolah SMA di Malang, Wandi kembali belajar tentang yoga. Karena di tempatnya berskolah, ada materi tentang yoga. Di sanalah Ia bisa belajar dan mendalami yoga.
Tak berhenti di situ saja, ketika sudah lulus SMA dan melanjutkan kuliah di Sekolah Tinggi Agama Hindu di Malang, Ia lebih mendalami tentang yoga. Karena ada materi tentang yoga yang diajarkan.
Wandi lulus kuliah tahun 2018. Ia kemudian pulang ke kampung halaman. Dengan bekal ilmu yoga yang dimilikinya, dirinya kemudian memiliki inisiatif untuk menularkan yoga pada warga di Desa Argosari.
Awalnya Ia mengajak anak-anak terlebih dahulu. Mulanya, Ia mengenalkan yoga dengan mengajak anak-anak untuk jalan-jalan santai di desanya sambil refreshing di akhir pekan. Tanpa memberi tahu jika itu bagian dari yoga, Wandi ingin anak-anak bisa melepaskan penat setelah hampir seminggu belajar formal di sekolah.
Wandi sudah empat tahun terakhir ini membudayakan yoga di Desa Argosari. “Setiap Minggu sore, rutin dilaksanakan yoga di sini,” katanya.
Dalam yoga yang diajarkan oleh mereka, menekankan pada spiritual. Meskipun di sisi lain juga pada sisi kesehatan. “Karena mayoritas di desa kami adalah penganut agama Hindu, di ajaran kami juga ada terkait yoga, maka tujuan yoga lebih diutamakan untuk menedekatkan diri pada Tuhan,” ungkapnya.
Meski begitu, mereka tidak menutup diri, jika ada saudara dari agama lainnya yang berminat untuk bergabung dan belajar yoga. “Kami sangat terbuka untuk mengajarkan pada mereka. Namun tentunya yoga secara umum atau untuk kesehatan,” ucapnya.
Ia menambahkan, ada syarat khusus untuk bisa mengikuti yoga. Yakni jika perempuan harus dalam keadaan ‘bersih’ atau tidak sedang datang bulan. “Karena jika memaksa untuk yoga, itu justru bisa menganggu kesehatan,” katanya.
Kemudian jika ada anggota keluarga yang meninggal dunia, maka sementara waktu mereka tidak boleh mengikuti yoga. “Karena kepercayaan kami, mereka masih ‘belum bersih’ ketika keluarga masih dalam keadaan berduka,” kata Wandi.
Saat ini peserta yoga yang tergabung di Pasraman Giri Luhur, mulai dari anak-anak SD, SMP, dan SMA. Totalnya mencapai 120 anak. Tentunya yoga yang diajarkan mereka, fasenya tak sama, sesuai usia mereka. Untuk yang SD dan SMP masih pengenalan. Mereka akan lebih banyak mendapat materi tentang yoga. Sedangkan untuk yang SMA, mulailah di fase yang lebih fokus lagi.
“Sedangkan jumlah pengajar atau pembina saat ini ada 9 orang. Mereka ada keahlian sendiri, ada yang tentang mantra umum, ada yang materi keagamaan,” pungkasnya. (fit)