Lumajang, Motim-Keripik manecu. Mungkin kebanyakan orang masih penasaran dengan keripik ini. Karena masih jarang ditemui keripik dari buah yang banyak tumbuh di Kabupaten Lumajang wilayah utara tersebut.
Umumnya, buah manecu dikonsumsi langsung oleh masyarakat. Di tangan Ahmad Sodiq, buah tersebut bisa disulap menjadi keripik. Selain karena mudah didapat, juga harganya relatif murah, sekitar Rp 20 ribu per keranjang.
“Di Klakah kan banyak sekali buah manecu, harganya juga murah. Jika diolah dengan baik kan bisa menaikkan harga jualnya,” tuturnya ketika ditemui di kediamannya, di Desa Duren, Kecamatan Klakah.
Ia mengaku tidak pilih-pilih manecu jenis apa yang bisa dijadikan keripik. Ia juga membeli manecu dari petani dengan harga pasar pada umumnya. “Semua jenis manecu bisa dipakai, asalkan sudah matang,” jelas mantan Ketua Karangtaruna Sekarwangi itu.
Menurutnya, proses pengolahannya juga tidak sulit. Dia memilih buah yang sudah masak, kemudian dibelah menjadi 4 bagian. Selanjutnya daging buahnya dipisahkan dari kulit menggunakan sendok. Sehingga daging buah manecu tersebut tidak tersentuh tangan, jadi lebih higienis.
Setelah daging buah terpisah dengan kulitnya, kemudian dibekukan atau dimasukkan ke dalam kulkas kurang lebih sehari semalam. “Kita bekukan untuk menjaga tekstur dan bentuknya, jika langsung dimasak takutnya yang ada di bawah akan hancur tidak berbentuk,” terangnya.
Dalam proses pembuatan kripik manecu tersebut, Sodiq tidak menambahkan bahan-bahan lain, baik itu tepung atau pun gula. “Ini asli manis dari buahnya, tanpa gula. Tidak dicampur apapun,” katanya.
Rasa kripik manecu olahannya ini selain renyah juga manis. “Semakin matang buah yang diolah, semakin renyah dan manis kripiknya,” katanya lagi.
Dalam sekali proses, Ia hanya mampu memproduksi sekitar 1,5 kilogram bahan mentah dan setelah matang tinggal 450 gram. Dalam sehari Ia bisa memproduksi sebanyak 4 kali. Proses penggorengannya cukup lama, sekitar 2 jam tergantung bahan.
Untuk pemasarannya, Ia mengaku hanya menjual dari mulut ke mulut dan masih dijual di sekitar tempat tinggalnya dengan harga Rp 15 ribu per bungkus. Karena keterbatasan jumlah produksinya, Ia mengaku kewalahan untuk memenuhi permintaan pasar.
“Kendalanya selama ini dari modal dan produksinya tidak banyak, karena kapasitas alatnya kurang besar,” pungkasnya. (cw7)