Nganjuk- Proses pembangunan Waduk terbesar se – Asia tenggara sudah mencapai tahapan pembayaran kepada warga terdampak.
Sebagian warga Desa terdampak sudah menerima uang pengganti, tapi masih ada warga dari desa Sambikerep Kecamatan Rejoso yang mengalami penundaan karena berbagai macam persoalan tanah yang belum selesai.
Bila tidak menerima appraisal itu, mereka diminta untuk melakukan gugatan di pengadilan. Jika pengadilan memenangkan gugatan tersebut maka akan dilakukan appraisal ulang. Jika kalah, maka warga harus menerima uang ganti rugi tanah ke pengadilan oleh tim appraisal, Kamis (23/7/2020)
Ditemui di warung depan pembangunan Bendungan terbesar se Asia, Dayat warga Desa Sambikerep menjelaskan, persoalan-persoalan yang belum selesai itu. Ketidakjelasan itulah yang membuat ada warga yang sebelumnya sudah bersedia direlokasi akhirnya berbalik sikap.
“Nilai tanah kami dihargai 1.5 juta sampai 2 juta. Dan kami disuruh menunggu, masalah nunggunya berapa bulan saya tidak yakin,” papar Dayat
Laki-laki yang kesehariannya bertani ini mengatakan proses pencairan belum terjadi karena ada perubahan nilai ganti rugi.
Perubahan itu terjadi lantaran masyarakat tidak terima dengan nilai ganti rugi yang ditetapkan Tim Appraisal yang menggunakan hasil penghitungan tanah yang dilakukan Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Sejak ada sosialisasi rencana pembangunan Bendungan, warga menjadikan sertifikat sebagai pedoman untuk mendapatkan uang pengganti atau tanah relokasi yang disebutkan oleh tim Appraisal. Namun, sertifikat tersebut dikalahkan oleh prosedur penghitungan ulang yang dilakukan BPN. Penghitungan baru ini yang justru dipakai tim Appraisal untuk menentukan harga tanah, rumah, beserta asetnya.
Dayat mengatakan hasil penghitungan ulang terhadap tanah warga banyak yang tidak sesuai dengan sertifikat yang mereka miliki. Ada selisih antara luas tanah di sertifikat dan hasil penghitungan ulang BPN. Bahkan ada yang selisihnya sampai 2000 meter. Warga yang tidak terima kemudian mencoba membawa gugatannya ke pengadilan. Dayat adalah salah seorang warga yang mengajukan gugatan tersebut.
“Pokoknya saya tidak setuju tim Appraisal memberikan harga dibawah keinginan kami. Warga tetep melakukan penolakan terhadap Appraisal,”kata Dayat.
Dayat dan kepala keluarga yang lain sebenarnya pernah mempersoalkan penghitungan tanah yang dilakukan oleh Appraisal itu. “Kenapa Appraisal memakai penghitungan yang baru, lalu sertifikat kami tidak berguna, ” kata Dayat pada wartawan.
Tidak hanya petani seperti Dayat yang mengalami masalah dengan perhitungan nilai, petani di desanya juga menyatakan penolakannya karena tanah mereka tidak diberi nilai oleh tim Appraisal.
“Kami akan mengirimkan surat kepada Bupati Nganjuk, Tapi sampai sekarang belum dibalas, kami cuma ingin masalah ini tidak berlarut-larut, karena Bupati sendiri pernah berjanji akan mbantu masyarakat terdampak Semantok,”ucap Dayat
Salah satu warga Desa Sambikerep (Yanto,red) menambahkan keterangan Dayat, bahwa setelah penandatanganan persetujuan pencairan dana, Semantok di dalam kontrak perjanjian mencantumkan beberapa persyaratan.
Dalam perjanjian disebutkan dalam jangka 1 bulan rumah harus dikosongkan, aset tanaman dan lain-lain tidak boleh diambil. Poin lainnya adalah kalau kurang dalam memberi ganti rugi maka pihak Appraisal tidak bertanggungjawab.
“Sayangnya warga tidak membaca itu,” sesal Yanto.
Menurut penuturan Dayat dan Yanto, warga terjebak oleh janji manis. “Katanya ada lapangan kerja, masyarakat terbuai mimpi. Relokasi dan rumah ternyata bayar,” ujar Yanto (samaran,red)
“Waktu itu saya tanya (kepada petugas sosialisasi relokasi). Dapat berapa meter, Harga berapa, Kas desa (lokasi relokasi) mana Mas, dia jawab tidak tahu,” imbuh Yanto.
Belum lagi, masyarakat dibingungkan oleh aturan yang berbeda soal relokasi. Yanto mengatakan versi Semantok menegaskan warga yang menerima dana pengganti tidak akan mendapatkan tanah relokasi, sedangkan versi Pemerintah Kabupaten Nganjuk mengatakan akan disediakan relokasi untuk semua warga yang terdampak Mega Proyek tersebut.
Kondisi simpang siur inilah yang membuat sebagian warga memutuskan tidak memilih relokasi. Dayat adalah salah satu yang tidak memilih relokasi. Dia hanya menunggu dana penggantinya cair. (Iskandar)